Senin, Desember 08, 2008

HARI RAYA BESAR

Oleh: A. Mustofa Bisri

Idul Adha atau Hari Raya Kurban disebut juga Hari Raya Haji dan Hari Raya Besar. Hari tanggal 10 Dzul Hijjah inilah puncak pelaksanaan ibadaha haji, jama’ah haji dari seluruh dunia, setelah wuquf di Arafah dan menginap di Muzdalifah, kemudian melempar jumrah Aqabah dan melaksanakan penyembelihan ternak kurban di Mina. Sementara kaum muslimin yang tidak sedang berhaji, melakukan sembahyang Ied dan menyebelih kurban.


Setiap kali datang Hari Raya Besar, Idul Adha, kita selalu diingatkan kepada kisah nabi Ibrahim dan puteranya, nabi Ismail.

Seperti kita ketahui; lama sekali nabi Ibrahim ingin mempunyai anak. dan baru kesampaian keinginannya itu setelah tua renta. Kita bisa membayangkan betapa bahagia dan senangnya nabi Ibrahim ketika mendapat anugerah seorang anak yang istimewa, cakap, dan halim. Seorang anak yang tidak hanya dapat dijadikan pengisi kekosongan, tapi lebih dari itu dapat dijadikan ‘tangan kanan’ yang selalu mendampingi sang ayah dalam berjuang dan kiprah kemasyarakatannya.

Tapi, bayangkan!, tiba-tiba datang perintah dari Allah agar nabi Ibrahim menyembelih buah putera hatinya itu. Mengenai perintah Tuhannya ini, nabi Ibrahim tanpa sedikit pun keraguan –meski kedengaran mengharukan-- bertanya kepada puteranya, “Bagaimana pendapatmu, anakku?” Dan hebatnya, sang putera menjawab dengan tidak kalah mantap, “Ayah, laksanakan saja apa yang diperintahkan kepada ayah. Ayah akan melihat saya insyaAllah termasuk orang-orang yang tabah.”

Apakah yang lebih berharga dari anak dan nyawa sendiri? Sebagai bukti ketaatan dan kecintaannya kepada Tuhannya, nabi Ibrahim bersedia dengan ikhlas mengorbankan anaknya sendiri yang nota bene sudah lama sekali diidamkannya; nabi Ismail bersedia dengan ikhlas mengorbankan nyawanya.

Kemudian, seperti semua sudah tahu, karena ketulusan mereka, sang anak yang sudah pasrah disembelih, diganti dengan seekor domba.

Suatu teladan yang ‘ekstrem’ tentang ketulusan pengorbanan kekasih bagi kekasihnya. Pengorbanan pemuja bagi pujaannya. Pengorbanan dan loyalitas hamba kepada Tuhannya.
Teladan pengorbanan kedua hamba pilihan itu akan semakin tampak ‘ekstrem’ bila kita pandang sekarang. Pengorbanan mereka berdua bukan saja membuktikan betapa luar biasanya kecintaan dan ketaatan mereka kepada Tuhan mereka. Tapi sebelum itu, membuktikan tingkat pengenalan mereka terhadap Tuhan atas nama siapa pengorbanan itu diikhlaskan.

Dimulai dari pengenalan, lalu sayang dan cinta, kemudian ketulusan berkorban. Bila merujuk ungkapan klise, “Tak kenal maka tak sayang”, maka bisa dilanjutkan dengan ungkapan, “Tak sayang maka tak sudi berkorban.”

Orang yang tidak mengenal tanah-air-nya, misalnya, mungkin karena tidak merasa pernah makan dari hasil tanah yang dipijaknya dan merasa tidak pernah meminum airnya, boleh jadi tidak sayang kepada tanah-air-nya itu. Maka jangan bayangkan orang tersebut mau berkorban untuk tanah-air-nya. Merusaknya pun mungkin tidak membuat nuraninya terusik.

Kalau kita kembali kepada kisah nabi Ibrahim dan nabi Ismail yang setiap Idul Adha kita kenang, maka kita bisa mengatakan bahwa pengenalan yang sangat dari mereka berdua terhadap Tuhan merekalah yang membuat mereka sangat menyintai dan memujaNya, sehingga rela berkorban apa saja demi mendapatkan ridhaNya.

Demikianlah; besar-kecilnya kerelaan berkorban tergantung pada besar-kecinya pengenalan dan kecintaan.

Nabi Ibrahim dan nabi Ismail sangat mengenal Allah dan tahu persis apa saja yang membuat Tuhan mereka itu ridha dan apa saja yang membuatNya murka. Maka pengorbanan mereka pun tidak pernah sia-sia. Jadi memang tidak bisa hanya bermodal semangat mendapat ridha Allah, tanpa mengenalNya dan tanpa mengetahui apa saja yang membuatNya ridha dan apa saja yang membuatnya murka. Wallahu a’lam.

Selamat Idul Adha! Selamat Berkurban!

Original Source Hari Raya Besar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar